Thursday, May 30, 2019

Antara Istri dan Mama

Masalah yang terjadi antara istri dan mama adalah masalah yang sering kali terjadi dalam kehidupan kebanyakan rumah tangga. Tidak sedikit rumah tangga yang berakhir dengan perceraian karena munculnya persoalan ini dalam rumah tangganya. Namun ada pula yang terus bergumul dengan persoalan ini sehingga rumah tangga mereka berjalan dengan terseok-seok, hidup tidak layaknya sebagai sebuah keluarga banyak perang dingin dan konflik didalamnya.

Apakah permasalahan yang sesungguhnya sehingga masalah ini menjadi begitu krusial dan terjadi di banyak keluarga. Umumnya karena permasalahan pengertian tentang pernikahan yang berurusan dengan perasaan. Maksudnya banyak mereka yang menikah tetapi tidak jelas akan konsep menikah secara kekristenan dan tidak tahu bagaimana menjalankan apa yang firman Tuhan katakan / role pernikahan yang di laksanakan. Permasalahan muncul tidak saja di sebabkan oleh mereka berdua suami istri namun juga melibatkan oran tua dan mertua dengan pengenalannya.

Berdasarkan pada Alkitab Perjanjian Lama pasal 2 mengenai konsep pernikahan di ayat 24 dan seterusnya bahwa suatu saat nanti mereka akan meninggalkan orang tua mereka dan bersatu dengan pasangannya untuk menyatukan diri menjadi satu daging dan apa yang disatukan oleh Allah ini tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Hal ini jelas menajarkan pada setiap manusia bahwa relasi yang paling lekang dan erat adalah pasangan kita. Karena ada saatnya kita harus meninggalkan orang tua kita dan bersatu dengan pasangan kita. Saat kita meninggalkan orang tua kita memberi kita kesadaran bahwa hidup saya kedepan adalah bersama dengan pasangan saya seumur hidup saya, jauh lebih panjang waktuya dibanding hidup dengan orang tuaku dulu, dan kita tidak dapat memisahkan diri dengan pasangan kita sampai maut memisahkan kita.

Banyak orang keliru dalam menanggapi konsep ini, Alkita tidak pernah mengatakan bahwa berarti kita putus hubungan dengan orang tua, karena ada ayat lain yang menyatakan kepada kita hormatilah ayah ibumu seumur hidupmu. Berarti ada perbedaan relasi yang terjadi sekarang antara saya dengan orang tua saya. Jika dulu saya adalah bagian dari anggota keluarga ayah saya dengan predikat anak sekarang saya adalah kepala dari keluarga saya sendiri dengan anak-anak saya kelak, dan relasi saya sekarang dengan orang tua saya adalah relasi antar 2 keluarga. Konsep ini juga mempunya arti bahwa kita telah menjadi dewasa  dan lepas dari pengaruh orang tua, kita sudah harus bisa menjalankan keluarga kita sendiri, lepas dari pengaruh campur tanga orang tua, namun orang tua  atau mertua masih menjadi mentor yang boleh memberikan masukkan kepada kita sebagai orang yang kita hormati.

Konsep diatas tidak hanya harus dimengerti oleh pasangan suami istri ini saja tetapi juga dimengerti oleh mereka sebagai orang tua maupun mertua. Dengan pengertian yang benar dan jelas maka permasalahan diatas akan sangat bisa dihindari.

Permasalahan umumnya terjadi tatkala berkenaan dengan perasaan, perasaan bahwa orang tua yang sudah melahirkan kita dan memelihara kita maka haruslah kita berbakti kepada mereka. Dalam hal ini benar kita harus berbakti dan menghormati serta mencintai mereka, namun harus hati-hati tatkala berbenturan dengan relasi keluarga inti kita yaitu dengan pasangan kita. Kita tidak bisa untuk menjalin relasi agar terlihat menghormati orang tua lalu kita mengabaikan pasangan kita dan menjadikan pasangaan kita orang nomor dua. Ingat Tuhan menyatukan kita dengan pasangan kita menjadi satu daging yang lekat dan paling lekat berarti dalam hidup kita tidak ada yang terpenting selain pasangan kita sendiri.

Orang tua perlu menyadari bahwa anak mereka sudah berkeluarga dan bersatu dengan pasangannya dan tidak lagi boleh mempengaruhi anaknya dan kehidupan keluarga anaknya. Mereka tidak bisa menekankan kepada anak untuk taat kepada orang tua jika tidak durhaka hanya untuk memenuhi impiannya dalam kehidupan ini. Sebaliknya anak-anak tidak bisa karena sedemikian eklusifnya hubungan dengan pasangan lalu mengabaikan orang tuanya dan tidak memperdulikan orang tuanya. Disinilah kita memerlukan kebijaksanaan dari Tuhan untuk bagaimana berlaku menyikapi hal ini.
Alkitab sebenarnya sudah mengatur bagaimana seharusnya kita hidup baik dalam berkeluarga maupun dalam kehidupan sosial kita. Pengertian dan pengenalan firman akan membantu kita menjalani hidup ini dan menghindari semua polemic yang mungkin saja terjadi.


Thursday, May 16, 2019

Menyikapi masa Pensiun bagi Rohaniwan

Pensiun adalah sebuah kata yang cukup menggetarkan bagi kebanyakan orang. Masa pensiun dirasa seakan masa yang penuh dengan ketakutan dan kemunduran di segala bidang. Banyak orang tidak siap memasuki masa pensiun ini karena beberapa hal yaitu:
·      Masa dimana seseorang akan kehilangan kekuasaannya
·      Masa dimana seseorang dipaksa untuk menerima kondisi bahwa usianya sudah tidak muda lagi dan sudah harus diganti oleh mereka yang lebih muda
·      Masa dimana tubuh sudah mulai melemah dan mulai banyak berurusan dengan sakit penyakit
·      Masa dimana seseorang sedikit demi sedikit mulai dilupakan akan keberadaannya.
·      Masa dimana orang tersebut kemungkinan memerlukan orang lain dan tidak lagi bisa mandiri
·      Masa dimana ia mulai merasa kesepian
·      Dan banyak hal menakutkan lainnya yang masih bisa kita telaah dan kita rasakan.

Perasaan memasuki usia pensiun ini mengusik semua lapisan masyarakat siapapun dia, tidak terkecuali seorang rohaniwan.

Mari kita perhatikan masalah pensiun ini dengan keberadaan seorang rohaniwan. Rohaniwan adalah suatu predikat yang diberikan kepada mereka yang mengabdikan dirinya untuk Tuhannya, melayani Tuhan dengan seluruh waktu hidupnya dan itu bukanlah suatu profesi.

Menjadi rohaniwan adalah suatu panggilan, karena tidak serta merta setiap orang bisa menjadi seorang rohaniwan tetapi melalui suatu proses panggilan dalam hidupnya untuk menyerahkan waktu dan hidupnya hanya untuk melakukan pekerjaan TUhan dan melayaniNYA.

Didalam panggilannya inilah seorang rohaniwan memasuki institusi dimana ia terpanggil, misalnya di bidang pendidikan, ia dapat menjadi seorang dosen teologia di institusi sekolah teologia, seorang guru agama Kristen di sekolah-sekolah Kristen, di bidang penggembalaan ia akan masuk ke institusi gereja, ada yang terpanggil menjadi pendeta yang menggembalakan, ada yang menjadi penginjil atau seorang pengajar didalam gereja atau dalam bidang-bidang tertentu lainnya. Semua itu adalah predikat dalam panggilannya, sekali lagi bukan profesinya.

Jadi sebagai seorang rohaniwan ia menjalani predikatnya sebagai hamba yang melayani Allah di institusi yang Tuhan tempatkan baginya dan disitulah ia mengembangkan semua panggilan dan talentanya dalam pelayanannya. Karena ia ada dalam satu institusi dalam melayani Tuhan maka ia akan mendapatkan juga tunjangan utuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Dalam hal ini memang ada sedikit perbedaan dengan mereka yang bekerja dalam satu instansi untuk berkarier dengan profesi tertentu, maka imbalan yang mereka dapatkan adalah upah dari profesi mereka untuk apa yang mereka lakukan. Dan karier ini dapat terus di kejar utuk mendapatkan upah yang lebih besar sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam hal ini sedikit berbeda dengan panggilan sebagai seorang rohaniwan. Yang dikejar oleh mereka  para rohaniwan bukanlah profesi tetapi maksimal pelayanannya yang efektif untuk menjangkau mereka kepada Kristus.

Jika kita melihat hal seperti ini maka seorang Rohaniwan seharusnya tidaklah memikirkan mengenai upah. Mereka yang duduk dan berwenang  dalam instansilah yang memikirkan kebutuhan hidup mereka dan mencukupinya. Oleh karena itu seorang Rohaniwan berbeda dengan seorang professional secular yang mengejar materi untuk mencukupi kehidupannya.

Berdasarkan hal ini maka tatkala seorang rohaniwan di suatu instansi memasuki usia pensiun akan menghadapi pelbagai pergumulan untuk menyiasati memasuki usia pensiun itu. Rohaniwan juga akan banyak memikirkan bagaimana kehidupannya kelak jika memasuki masa itu, bagaimana kehidupan anak-anak, study dan hidup mereka sehari-hari. Masa inilah masa yang penuh tantangan. Mereka bisa saja tergeser dari panggilannya dan menempatkan dirinya dan predikatnya kearah profesi dan mencoba untuk memenuhi lumbung-lumbungnya sebagai persiapan di masa pensiun nanti.

Seorang rohaniwan itu adalah predikat, panggilannya dan tidak berkesudahan, tidak ada batas masa berlakunya sampai Tuhan memanggil mereka. Yang membatasi adalah keterlibatannya dalam suatu instansi yang menaunginya. Seorang rohaniwan harus menyadari itu adalah panggilan dari Allah dan Allahlah yang akan terus menjaga dan memelihara hidupnya. Walaupun ia telah menyelesaikan tugasnya dalam salah satu instansi itu bukan berarti predikatnya sebagai rohaniwan selesai, ia tetap menjalani panggilan pelayanannya dalam seluruh hidupnya. Yang membedakannya adalah tidak lagi mendapat tunjangan kehidupan dari instansi tersebut dan inilah sesungguhnya yang menakutkan bagi para rohaniwan, bagaimana mereka harus meneruskan hidupnya?

Sebagai seorang rohaniwan maka seumur hidup harus selalu mengingat panggilannya dan belajar selalu hidup mencukupkan diri dengan apa yang Tuhan beri, dalam kesederhanaan, kecukupan, tidak berkemewahan dan mengikuti arus dunia. Walau kadang-kadang hal itu tidak dapat dihindari dalam pelayanan sehari-hari saat melayani di tempat tertentu dan orang-orang tertentu seorang rohaniwan akan menikmati banyak kemewahan namun seharusnya kita harus selalu sadar bahwa itu bukan tempat kita, itu hanyalah anugrah yang Tuhan beri bisa kita cicipi dalam hidup ini, namun sesungguhnya kita hanyalah alat ditanganNYA.

Oleh karena itu sebagai sesama rohaniwan sayapun ingin terus belajar melihat panggilan Tuhan dalam hidupku dan belajar menerima keberadaanku yang adalah alat di tangan Tuhan yang kadang Tuhan beri kenikmatan, kemewahan namun seharusnya kita justru harus hidup dalam kesederhanaan dan kecukupan ( humble and simplicity). Sikap seperti inilah yang akan memberi kita kemampuan untuk menghadapi masa pensiun kita kelak.

Bahwa kedudukan saya sekarang itu bukan apa-apa sehingga tidak perlu saya pertahankan namun saya harus memiliki hati siap untuk melepaskannya kepada mereka yang muda dan lebih berkemampuan dari kita. Menerima diri bahwa kita sudah harus melepaskan tongkat estafet ini dengan hati leluasa dan bangga bahwa kita sudah mewariskan kepada generasi penerus kita suatu contoh teladan pelayanan yang baik. Kita boleh bersyukur selama melayani Tuhan sudah TUhan ijinkan menikmati beberapa hal kemewahan atau kenikmatan namun sesungguhnya itulah anugrah dan saatnya kita kembali kepada kita yang sesungguhnya menikmati hidup bersama Tuhan dalam kesederhanaan.

Mari kita bersama terus mengingat akan panggilan kita dan percaya Tuhan akan pelihara kita, yang penting janganlah kita lupa siapa kita dan terus ingin hidup diatas, akan tiba waktunya orang akan perlahan melupakan kita, melupakan siapa kita, apa yang telah kita lakukan namun ingatlah Tuhan tidak pernah melupakan kita. Oleh karena itu marilah kita mengakhiri semua pelayanan panggilan kita dengan baik. Tuhan tidak melihat awal panggilan pelayanan kita tetapi Tuhan melihat bagaimana kita mengakhiri perjalanan pelayanan kita.


Ev. Julimin Nagaputra M.Min